Senin, 27 Februari 2012

Waspada Obat Palsu

Anda pernah minum obat tetapi penyakit Anda tidak sembuh-sembuh? Atau justru semakin parah? Hati-hati, jangan-jangan Anda adalah salah satu korban obat palsu. Kemasan obat-obatan palsu yang begitu mirip sehingga sulit dibedakan dengan aslinya itu sering kali mengecoh konsumen, khususnya masyarakat awam. Saya baru bisa membedakan obat ini palsu atau tidak setelah 26 tahun berpengalaman sebagai dokter," ujar Marius Widjajarta, dokter yang aktif berkecimpung di Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia. Angka perdagangan obat palsu di Indonesia memang tidak diketahui dengan pasti. Namun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, perdagangan obat palsu di Indonesia tidak kurang dari Rp 3 triliun per tahun, atau + 10 persen dari perdagangan obat di Tanah Air.

Hingga kini, tercatat lebih dari 81 merek obat yang beredar di Indonesia dipalsukan. Obat-obat tersebut adalah obat yang tergolong laku di pasaran. Sementara, Badan Perdagangan Dunia (WTO) menyebutkan, jenis-jenis obat yang dipalsukan di negara-negara berkembang antara lain obat malaria, TBC, juga HIV/AIDS. Sebagian obat tergolong palsu karena tidak memiliki izin edar di Indonesia. Sebagian lagi tergolong palsu karena memiliki kadar bahan aktif di bawah standar. Sebagian obat tidak memiliki bahan aktif sama sekali atau tidak berkhasiat bagi tubuh.
Di beberapa negara, seperti Amerika Serikat (AS) dan China, obat palsu bahkan sudah menghilangkan nyawa. Sementara di Indonesia, korban obat palsu belum diketahui jumlahnya. Sebagian besar konsumen memang tidak sadar bahwa mereka sebenarnya telah mengonsumsi obat palsu.
"Saya memang pernah sakit, tidak sembuh walau sudah minum obat. Tetapi, apa itu artinya saya minum obat palsu?" ujar Santi (28), karyawati sebuah perusahaan swasta. Apotek atau toko obat resmi memang tidak menjamin keaslian suatu obat. Bandingkanlah misalnya, obat tertentu yang dibeli di satu apotek dengan obat yang sama yang dibeli di apotek atau toko obat lain. Ada kemungkinan, kemasan obat tersebut sedikit berbeda, misalnya saja bentuk huruf atau warna yang berbeda.

Kendati tidak menjamin aman, Marius menganjurkan konsumen membeli obat, khususnya obat-obat daftar G atau keras, di apotek. Biasanya, pada kemasan obat-obat daftar G tertera lingkaran berwarna merah dengan garis tepi hitam. Di dalam lingkaran tersebut terdapat huruf dengan K berwarna hitam. Ini artinya, obat-obatan tersebut harus dibeli dengan resep dokter.

Selain itu, ada pula obat yang pada kemasannya terdapat lingkaran berwarna biru dengan garis tepi hitam. Obat-obat tersebut adalah obat bebas, namun hanya bisa didapatkan di apotek atau toko obat berizin. Dengan membeli obat di apotek, kata Marius, konsumen terlindungi. Apabila terbukti obat yang dibeli konsumen tersebut palsu, apotek tersebut bisa dituntut secara hukum. Konsumen dilindungi Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 dengan ancaman hukuman lima tahun penjara dan atau denda dua miliar rupiah.

Selain itu, agar tidak terjebak obat palsu, konsumen juga harus memerhatikan secara saksama obat yang dibelinya. Hal pertama yang harus diperhatikan adalah nomor registrasi sebagai tanda obat tersebut sudah mendapat izin di Indonesia. Beberapa obat yang dikonsumsi luas, misalnya Actifed-P Cold, yang mengandung Triprolidine HCl, Pseudoephedrine HCl BP, dan Paracetamol BP, selama kurun 1999-2006 ternyata belum mendapat register di Indonesia. Obat-obat luar yang palsu itu dapat dibeli bebas, antara lain di Pasar Pramuka, Jakarta Timur.

Selain itu, konsumen juga harus cermat memeriksa kualitas kemasan dan kualitas fisik produk tersebut. Ini mengingat, beberapa produk obat palsu hampir sama persis dengan aslinya. Namun, kemasan obat palsu terkadang kurang rapi. Hal lain yang harus diperhatikan adalah nama dan alamat produsen tercantum dengan jelas. Konsumen juga harus teliti membaca indikasi, aturan pakai, peringatan, kontra indikasi, efek samping, penyimpanan, serta tanggal kedaluwarsa.

Generik
Beberapa bulan terakhir, modus pemalsuan obat di Indonesia berkembang. Sindikat obat palsu tidak lagi meracik atau membuat obat, melainkan mengganti kemasan obat generik menjadi obat bermerek. Selain tidak terlalu berisiko, keuntungan yang didapat para pemalsu itu juga bisa puluhan kali lipat. Itu karena perbedaan harga obat generik dan obat bermerek bisa sampai 80 kali lipat.

Pemalsuan obat juga berkembang karena ada kerja sama antara dokter dan produsen tertentu. Sejak awal, dokter tidak menjelaskan perbedaan obat paten, obat bermerek, dan obat generik. Sebagian dokter menyebut obat bermerek sebagai obat paten. Padahal, kata Marius, keduanya sangat berbeda.

Obat paten adalah obat yang dihasilkan melalui riset atau penelitian. Produksi obat paten berlangsung selama 20 tahun sebelum akhirnya hak produksi juga diberikan kepada perusahaan lain. Adapun obat generik adalah obat yang dijual dengan nama persis nama zat yang terkandung di dalamnya. Sementara obat bermerek adalah obat generik yang diberi merek sesuai nama perusahaannya.

"Yang bekerja di dalam tubuh tetap saja generiknya. Kita kan enggak makan mereknya," kata Marius.
Sebagai pasien, sebenarnya konsumen berhak menentukan apakah dia ingin menggunakan obat generik atau obat yang bermerek. Namun, jarang ada dokter yang memberikan opsi kepada pasien. Selain itu, konsumen juga beranggapan obat bermerek lebih manjur daripada obat generik.

Pengalaman buruk soal obat antara lain dialami Nika (26) saat berobat ke Dr W, spesialis penyakit dalam yang terkenal di Jakarta. Untuk mengobati jamur yang bersarang di ususnya, Nika diminta membeli berbagai macam obat dan vitamin yang harganya mencapai Rp 500.000. Belakangan, Nika tahu bahwa obat lambung dan vitamin yang diresepkan dokter kepadanya sebenarnya tidak diperlukan.

"Soalnya aku enggak dikasih penjelasan dan pilihan sama dokternya. Jadi, aku nurut saja," kata Nika, yang saat itu statusnya masih honorer di sebuah perusahaan. Dokter yang "nakal" seperti itu, ungkap Marius, sebenarnya bisa dijerat dengan UU Perlindungan Konsumen. Selain itu, apabila terbukti ada dokter yang bekerja sama dengan produsen penjual obat palsu juga bisa dijerat UU Korupsi.

Untuk mengatasi obat palsu, Marius berharap Menteri Kesehatan segera mengesahkan draf Surat Keputusan Menkes mengenai perbandingan harga obat bermerek dan obat generik yang diajukan GP Farmasi sejak tahun lalu. Draf itu antara lain mengatur perbedaan harga obat generik dan bermerek tak lebih tiga kali lipat. Dengan demikian, diharapkan pemalsuan obat bisa dikurangi.
"Pemalsuan pasti berkurang karena kan keuntungannya juga berkurang. Untuk apa dipalsukan kalau selisihnya juga sedikit," katanya. (Khairina) Medicastore


CARA BIJAK TERHINDAR DARI OBAT PALSU
Saat ini obat palsu sangat banyak diberitakan telah beredar di pasaran. Obat palsu ini tentu saja dapat memberikan resiko dan kerugian bagi masyarakat. Obat palsu tersebut dari segi mutu tentu tidak dapat dipertanggungjawabkan, karena pemalsuan obat dapat dilakukan dengan cara pembuatan obat yang tidak baik berarti tidak memenuhi persyaratan baku (standar), atau dengan bahan aktif (berkhasiat) yang tidak sesuai dengan penggunaan produk obat, dengan bahan aktif dibawah standar (substandard), dan dapat juga dengan tidak mengandung bahan aktif sama sekali. Agar obat palsu tidak mudah dikenali, seringkali digunakan bahan kemas yang mirip dengan aslinya.

Golongan obat
Saat ini di pasaran dikenal dua golongan obat, yakni Obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter dan Obat yang hanya dapat diperoleh dengan resep dokter (ethical) :Obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter yaitu obat bebas dan obat bebas terbatas (OTC) dengan tanda khusus sebagai berikut:
1. Lingkaran berwarna hijau dan bergaris tepi hitam artinya obat bebas yang boleh dijual di semua outlet.
2. Lingkaran berwarna biru dan bergaris tepi hitam artinya obat bebas terbatas yang boleh dijual di apotik dan toko obat berijin.

Obat yang hanya dapat diperoleh dengan resep dokter (ethical) dan dibeli di apotik, dengan tanda khusus lingkaran berwarna merah dan bergaris tepi
hitam dengan tulisan K warna hitam di dalam lingkaran warna merah tersebut. Obat ethical terdiri dari:
1. Daftar G atau Obat Keras seperti antibiotika, anti diabetes, anti hipertensi, dan lainnya.
2. Daftar O atau Obat Bius adalah golongan obat-obat narkotika
3. Obat Keras Tertentu (OKT) atau psikotropik, seperti obat penenang, obat sakit jiwa, obat tidur, dan lainnya.
4. Obat Wajib Apotik yaitu Obat Keras yang dapat dibeli dengan resep dokter, namun dapat pula diserahkan oleh apoteker kepada pasien di apotik tanpa resep dokter dengan jumlah tertentu, seperti anti histamine, obat asma, pil anti hamil, beberapa obat kulit tertentu, dan lainnya.

Baik obat Ethical maupun obat OTC dapat diperoleh dipasar dengan nama dagang (merek) yang merupakan nama yang dimiliki oleh produsen dan nama generic yang merupakan nama dari bahan aktif

Status Obat di Indonesia
Semua produk obat yang beredar di pasaran Indonesia wajib diregistrasi di Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM). Dengan demikian, semua
produk yang diregistrasi akan melalui tahapan evaluasi oleh Badan POM meliputi aspek keamanan, kualitas, dan kemanfaatan yang berkaitan dengan
produk tersebut. Untuk itu tentunya diperlukan system evaluasi dengan menggunakan perangkat keras, perangkat lunak dan keahlian serta kehandalan Sumber Daya Manusia. Oleh karena itu, semua produk yang telah lolos dievaluasi oleh Badan POM akan mendapatkan ijin edar melalui perolehan nomor registrasi. Khusus dalam kaitan dengan kualitas, Badan POM juga mensyaratkan bahwa obat harus diproduksi menurut cara memproduksi yang baik. Hal ini berarti, produk tersebut harus diproduksi dalam fasilitas produksi yang memenuhi persyaratan CPOB (Cara Pembuatan Obat Yang Baik).

CPOB menyangkut seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu dan bertujuan untuk menjamin bahwa obat yang dibuat senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang telah ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Dengan demikian, obat yang diproduksi di sarana yang memenuhi persyaratan tersebut, maka mutu dari produk yang ada di pasar akan terjamin dengan adanya ketentuan ini.

Badan POM juga mewajibkan produk obat untuk memenuhi ketentuan label yang berlaku. Produk-produk yang telah memperoleh nomor registrasi harus memberikan informasi yang benar, obyektif, lengkap dan tidak menyesatkan kepada konsumen. Hal ini berkaitan pula dengan aspek perlindungan konsumen.Dengan latar belakang uraian tersebut di atas, berikut adalah tips bijak yang dapat digunakan untuk memilih obat yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh, aman dan berkualitas.
1. Perhatikan nomor registrasi sebagai tanda sudah mendapat ijin untuk dijual di Indonesia.
2. Apabila membeli obat dengan resep dokter, perhatikan apakah merek obat sudah sesuai dengan resep okter.
3. Periksalah kualitas kemasan & kualitas fisik produk obat tersebut.
4. Periksalah nama dan alamat produsen, apakah tercantum dengan jelas.
5. Baca Indikasi, Aturan Pakai, Peringatan, Kontra Indikasi, Efek Samping, Cara Penyimpanan, dan semua informasi yang tercantum pada kemasan.
6. Teliti dan lihatlah tanggal kadaluwarsa.
7. Untuk obat ethical, belilah obat hanya di apotik berdasarkan resep dokter.
8. Apabila ragu, Anda dapat menghubungi Unit Layanan Pengaduan Konsumen (ULPK) Badan POM

sumber:http://www.pondokherbalindonesia.com/artikel/41-artikel-kesehatan/103-waspada-obat-palsu.html